CODY

bb72e4339d8296db862004f771e8afc0
Cr. Pinterest

Setidaknya dua kotak jus mangga sudah tandas. Kotak kosongnya menghuni tong sampah di samping pantry. Kotak ketiga tengah kugenggam. Kusesap isinya dengan hikmat. Mensugesti lidah bahwa yang sedang kucecap adalah segelas Caramel Macciato dingin dengan ekstra karamel di atasnya, alih-alih cairan oranye pekat asam. Pening sudah terlampau sering mampir dan menginap di kepalaku. Membuatku menyerah, meninggalkan kafein untuk sementara. Beralih pada jus-jus buah yang sebenarnya sama tidak sehatnya karena kudapat dari rak minuman supermarket. Bukannya jus buah segar yang kadang kalau beli di kedai harganya bisa sangat tidak masuk akal. Lagipula tidak ada gunanya beli buah banyak-banyak saat kau hanya tinggal sendirian. Kalau kata Cody, aku orang yang terlalu praktis, cara sopannya menyebut “malas”.

Udara sedang dingin-dinginnya. Dan lagi, aku benci dingin. Jangankan berjalan sejauh lima belas menit dari rumah ke supermarket terdekat, keluar teras saja aku malas. Salah cuaca yang akhir-akhir ini cukup ekstrim. Badai, hujan salju, hujan es sudah jadi rutinitas saat malam menjelang. Membuatku semakin kurang tidur. Membuat sakit kepalaku semakin menjadi-jadi. Belum lagi Cody, makhluk bersurai hitam kriwil itu terus-terusan menerorku dengan segala macam ceramahnya. Bukannya makin membaik, aku malah makin stres memikirkan omelannya yang kadang cukup random.

Jus ketigaku sudah habis saat Cody memencet bel. Membuat bola mataku otomatis berputar keatas. Entah apalagi yang akan dilakukannya sekarang. Kunjungan mendadaknya mungkin lebih sering dari kunjungan diplomatis Presiden. Well.. setidaknya masih ada yang cukup perhatian padaku, kan?

“Lama!” Tukasnya begitu tanganku menarik gagang pintu.

“Aku lagi makan..” Kilahku.. yang sesungguhnya tidak berguna. Karena entah bagaimana caranya, Cody selalu tahu. Mungkin karena sudah terlalu sering kulakukan.

“Minum jus mangga maksudmu.”

“Yang ketiga.”

“Kau sadar kan kalau jus itu bukan termasuk makanan pokok.” Cody berjalan cepat melewatiku menuju dapur. Aku baru sadar ia memeluk kantong belanjaan. Entah apa isinya, tapi ada dua baguette mencuat. Mendadak perutku meronta ingin diisi.

“Kau bawa apa?” aku mengekorinya yang membongkar belanjaan di meja makan. Baguette yang tadi kulihat, selai stroberi merek kesuakaanku, pasta, saus kare instan, salmon, tuna kalengan, susu almon, kentang, wortel (yaiks).

Aku berniat membantunya menata belanjaan ke dalam kulkas, tapi tangannya menampikku. Menyuruhku duduk di kursi dengan sorot matanya. “Kau mau menginap?”

“Aku akan tinggal untuk makan siang.”

“Mm.. Okay.”

“Sebenarnya.. aku akan pergi setelah selesai menaruh semua ini.”

“Mmm…”

Cody lalu duduk di kursi seberangku seusai menata semua belanjaannya. Matanya bergerak-gerak bimbang. Jemarinya meremas satu sama lain. Cody gugup.

Dan aku tahu benar alasannya.

“Kau tahu hari ini tanggal berapa kan?” Buka Cody hati-hati.

Sorot mata Cody melembut. Namun aku tidak berani menatap balik kedua netranya yang tengah mengamatiku terlalu lama. “Tentu.” Jawabku, kembali menunduk.

“Kau ingat aku pernah bicara denganmu soal hari ini kan?”

“Ya..”

“Jangan malas lagi,” ingat Cody. “Kau harus masak, apapun itu. Makan tiga kali sehari. Jangan terlalu banyak minum kopi. Olahraga. Supaya pola tidurmu teratur.”

Aku bergumam sebagai jawaban.

“Kau harus janji akan datang ke pernikahanku.”

Baru saat itu aku mendongak. Menatap balik iris cokelatnya. Kuanggukkan kepala sebagai jawaban. Senyumku merekah untuk pertama kali.

Aku lalu bangkit menghampiri Cody.

“Boleh peluk?”

“Tentu.”Cody beranjak dan merentangkan tangan sebagai jawaban.

Cody yang kerempeng tapi hangat. Cody dan aroma parfum maskulinnya. Cody dan rambut ikalnya. Cody dan lesung pipitnya. Cody dan humor recehnya. Cody dan ceramah random-nya.

Entah bagaimana awalnya. Sejak dua tahun lalu aku mulai memutus kontak dengan semua orang. Dan mulai bergantung sepenuhnya pada Cody.

Kami tidak pacaran. Hubungan kami sepenuhnya platonik.

Namun, melihat Cody benar-benar akan pergi membuat dadaku sesak.

Pada akhirnya semua orang akan pergi kan.

Entah untuk mati.

Entah untuk memulai lembaran baru.

Cody yang kedua.

Aku mungkin akan kehilangan satu orang paling berharga yang pernah kukenal. Tapi aku bahagia untuknya.

Hey..

Sudah kubilang kan, perasaanku tidak seperti “itu” padanya.

Dan mungkin..

Suatu hari nanti aku juga akan benar-benar pergi.

Untuk memulai cerita baru.

.

.

.

.

Kuharap.


Tinggalkan komentar