[Demon Series Sequel’s] A DAY TO REMEMBER

 Image

 

Cast : Mark (GOT7)||Genre : Fantasy, AU, Angst||Rating : A/G

Lenght : Ficlet

Summary

Dia mengingat siapa dirinya

 

a/n : cerita ini adalah sekuel dari Demon Series.. maaf kalau membingungkan, dan terimakasih sudah membaca ^^

 

….

Bangunan itu berdinding batu berwarna abu-abu sewarna dengan tanah di bawahnya dan langit di atasnya. Debu-debu tebal yang melapisi setiap permukaan bangunan tua itu menyarukannya dari bunga berbagai warna di sekitarnya.

Kendati begitu, laki-laki berpakaian serba hitam itu tidak merasa risih berada disana, memandangi bangunan yang terlihat ringkih termakan usia. Tampak tak terawat, namun anehnya bunga-bunga di taman sekeliling rumah tumbuh tanpa terganggu dengan keberadaan rumah tua itu.

Laki-laki itu maju selangkah, memperhatikan pintu di depannya. Tangannya terulur meraih gagang pintu yang berkarat, memutarnya, dan pintu itu terbuka disertai suara deritan dan lantai yang sedikit bergetar.

Mark-si laki-laki berpakaian serba hitam-menyingkap topi hoodienya. Berjalan, memicingkan pandangannya ke arah meja di samping pintu. Debu tebal menutupi permukaannya yang dipenuhi pigura dengan foto-foto anak laki-laki kecil. Foto-foto yang mengabadikan perjalanan hidup seorang anak laki-laki, mulai dia bayi sampai remaja.

Mark mengenali anak laki-laki itu sebagai dirinya. Dia mengambil sebuah pigura dengan foto dirinya yang digendong perempuan bermata kelabu-hijau dan berambut hitam, disampingya seorang laki-laki menyerupai dirinya namun lebih tegas dan tinggi merangkul pundak perempuan itu, keduanya mengulas senyum. Mark masih tetap dengan ekspresi datarnya, meletakkan kembali foto itu dan berbalik. Dia kembali berjalan di keremangan cahaya. Meniti tangga rapuh menuju loteng, tanpa khawatir tangga itu mungkin akan runtuh ketika dia berpijak diatasnya.

Mark memandangi pintu di depannya, menghela napas panjang, meletakkan tangan ke dada kirinya. Tidak ada denyutan, tidak ada debaran.

Mark menghabiskan seluruh waktunya untuk mencari tempat ini. Tempat dimana dia memulai semuanya. Dia berharap akan mengingat semuanya dengan kembali ke awal. Ke tempat dimana dia dibesarkan.

Mark memasuki ruangan berbentuk segitiga itu. Cahaya matahari senja menerobos masuk melalui jendela kecil di seberangnya. Jendela kecil yang berada tepat di samping ranjang kayu tua yang tertutup sehelai kain putih. Di sampingnya, sebuah meja dengan beberapa botol obat tergeletak tertutup debu. Sebuah tiang infus yang sudah berkarat berdiri di sela-sela ranjang kayu dan meja kecil itu.

Meski ekspresinya tetap sekaku tadi, namun tatapannya terlihat sendu.

Dia menemukannya.

Sesuatu yang membuat ingatannya kembali ke sepuluh dekade yang lalu.

Kenangan itu berputar seperti film di otaknya.

Jantungnya mungkin tidak lagi berfungsi, namun setitik putih di lubuk hatinya yang meghitam, mengingatnya.

Ingatannya melayang saat usianya masih 4 tahun.

Saat itu musim semi.

Dia sedang di taman kecil di samping kiri rumahnya. Membantu sang ibu yang sedang menanam bunga lily, sedang dirinya duduk membelakanginya membuat lubang di tanah dengan sebuah sekop kecil. Ibunya suka berkebun, karenanya Mark juga suka membantu ibunya merawat bunga-bunga itu. Aroma manis mawar dan aroma segar rumput yang memenuhi udara, membuatnya merasa nyaman.

 

Mark mengerjap,

Satu ingatan kembali menghantam memorinya.

Usianya menginjak 9 tahun. Saat itu malam natal. Mark duduk di lantai kayu berlapis karpet tebal dengan berkotak-kotak hadiah di sekelilingnya. Matanya tidak lepas dari pohon natal setinggi satu setengah meter di hadapannya. Mark selalu ingin menghias pohon natal, namun baru hari ini dia bisa melakukannya. Keluarga kecil itu tidak cukup mampu untuk membeli pohon natal dan hiasannya. Dan malam itu, sang ayah pulang dengan sebuah pohon natal dan mengajak Mark menghiasnya. Membuat anak kecil itu lupa dengan hadiah-hadiah natal di sekelilingnya, sedang orangtuanya memandanginya dengan senyum hangat.

 

Mark mengerjap,

Memori berputar saat usianya 17 tahun.

Pagi itu, Mark menghabiskan waktunya diatas ranjang. Dia merasa kepalanya hampir meledak, wajahnya sepucat mawar putih di dalam vas diatas meja nakas, dan tubuhnya menggigil. Biasanya sang ibu akan menasehatinya untuk tidak bolos sekolah, namun hari itu beliau tidak melakukannya. Sebagai gantinya, ibu mendatanginya dengan semangkuk bubur hangat dan sebuket bunga krisan warna kuning yang dipetiknya dari taman.

Hari demi hari,

Mark menunggu dengan sabar diatas ranjang. Sesekali bangkit, duduk memandang keluar jendela. Mark berdoa agar semakin membaik. Alih-alih setiap hari dia malah semakin melemah. Kakinya tak lagi sanggup menopang berat tubuhnya. Ayah dan ibunya bergantian merawatnya setiap hari. Mark bisa melihat bekas alur air mata di pipi orangtuanya setiap mereka mengunjunginya di kamar.

 

Hari berganti,

 

Musim berganti,

 

Tahun berganti,

 

Dia mulai lelah.

 

Mark tahu kapan pada akhirnya harus menyerah.

 

Mark mengerjap,

Kenangan itu terasa menyakitkan.

Dia mengangkat pelan tangan kanannya. Menyingsing lengan hoodie hitamnya.

Mark memandangi lengan kanannya, tersenyum getir.

Sebuah kenyataan menghentaknya kembali.

Baru semenit yang lalu dia merasa seperti hidup. Meski jantung kecilnya telah berhenti berdetak sejak sepuluh dekade yang lalu.

Mark melayangkan pandangan untuk yang terakhir kalinya ke ranjang kayu didepannya sebelum berbalik dan berjalan.

Dia menyentuh tato pentagram di lengan kanannya.

Menyeringai,

Seiring tubuhnya lenyap, meninggalkan gumpalan debu merah tipis yang berpendar.

 

 

 

Tujuh hari kemudian,

 

Suara mendesing dan debuman keras terdengar memekakkan telinga.

SUV yang tadinya masih di tengah jalan itu meluncur dan berhenti setelah menabrak pohon Polar di samping trotoar.

Laki-laki korban tabrakan itu mengerjapkan matanya yang terasa berat. Penglihatannya mengabur karena rembesan cairan merah pekat yang mengalir dari kening ke matanya. Samar dia melihat seseorang tengah berdiri sambil menatapnya. Laki-laki itu mengerjapkan matanya lagi. Saat dia membuka mata, orang itu sudah berjongkok didepannya. Menatapnya dengan raut kasihan namun terlihat dingin.

“S-si-apa?” Ucap Laki-laki itu terbata.

Mark sedikit membungkuk,

tersenyum lembut padanya.

 

 

 

“Demon yang kau panggil.”

 

 

 

 

 

 

 

 

END/?

Copyright © 2014 azuream8

All rights reserved

 

 

 

Image


Tinggalkan komentar